Selasa, 27 Mei 2014

Sebuah tulisan yang kukutip dari buku berjudul "Soliloquy" karya Rimura Arken.

Catatan Jarak: November dan Aku
Untuk dunia yang terus berdusta, aku hanya harus setia memapah dosa.

Tapi, siapakah diri? Aku tidak banyak mengerti akan hal-hal yang mungkin bisa mendinginkan harimu. Apalagi yang mampu membasuh jiwamu. Yang aku tahu bahwa setiap detak, langkah, napas, dan segala makna, juga prinsip hidupku adalah batas yang kubangun dan takkan kulampaui. Kaulah pada titik itu kau tidak jua bisa merebahkan penatmu dibahuku, kamu yang tetap setengah hati mencecap hadirku, mungkin itulah batas yang kamu bangun. Aku hargai itu. Aku hormati semua penolakanmu, semua diammu, semua alasanmu, bahwa apa yang kita jalani memang mesti begini adanya. Tapi, aku kecewa, sebab tidak sedikitpun kamu sudi tuk menengok bahwa aku menapaki semua ini bak berbaring di altar-altar waktu yang mengunci semua gerakku. Tidak sekejap pun kau melampirkan ikhlas sapa untuk menunggu ketertinggalanku mengejar arti lain dirimu.

Lalu, aku pun luka.

Tahukah kamu, bahwa sedari mula aku senantiasa meyakinkan diriku; kamu adalah rembulan di hamparan gulita malamku. Namun, pada akhirnya kamu hanya mampu menjadi lilin yang begitu mudah padam tertitup angin. Hadir sesejak saat kamu butuh. Saat kamu memerlukan sebuah kehadiran hanya meredakan kekosongan hasratmu. Lalu, mengerjap hilang, meninggalkanku kembali terpuruk dalam harapan yang dalam akan dirimu. Sementara aku tak pernah tahu kamu dimana? 

Mungkin dulu aku tak pernah memikir batas itu. Sebab dalam yakinku, suatu hari nanti kamu akan terbuka dengan tulus hati menerima kenyataan apa adanya diriku.

Dan aku begitu pongah dalam kebanggan bahwa hidupku telah begitu bernilai saat aku mampu menyibak semua ini. Mampu menangkup satu tujuan yang meskipun sederhana dan tolol, namun itu tulus didasar jiwaku.

Tujuan itu adalah dirimu. Tapi, aku kelelahan, aku selalu saja remuk sebelum mencapaimu. Bukan oleh kerapuhan, yang membuat aku menyibak keraguan akan dirimu, tidak juga oleh kurangnya kemampuan dan upaya aku menyikapi semua ini, atau oleh fakta sikapmu yang begitu 'rendah' menilai keberadaanku. Namun, oleh teriakan lain ego batas yang kubangun dulunya bahwa aku sudah sangat melenceng. Tidak fair, apalagi jujur mengamini kenyataan bahwa aku mungkin bukan lah orang yang sesuai untuk penantianmu. Pada akhirnya aku harus mengakui bahwa diri ini tidak memiliki sebutir hal pun yang bisa kau hayati, dan mengekalkan ingatmu pada diriku lewat hal itu.

Tak ada yang akan aku sesali. Apa pun yang kuterima saat ini, bagiku akan sangat berharga.

Kalaulah sekarang, aku terlihat begitu angkuh; berbicara banyak tentang hal-hal rumit. Aku hanya bisa berharap, kamu melampirinya dengan kenangan bahwa aku pernah meruntuhkan segalanya dihadapmu.

Ego, prinsip, kerinduan, amarah, ketulusan, harapan,dendam. Segalanya bercampur aduk dalam benak dan karakterku. Aku sendiri bingung.

Bagaimana tanggapanmu akan semua itu? Segala sesuatu, yang hanya terwujud dalam sebentuk diam.

Aku menghormati segala diammu. Namun, perlu kau ketahui, ada banyak hal yang tidak bisa selalu disikapi dengan kebisuan, apalagi ketidakjelasan arah.

Kenyataan bahwa kita berbeda, aku bisa menerimannya. Kita butuh waktu, jarak, ruang, kekuatan lain untuk menjalani semua ini. Aku juga masih mampu mereguknya. Apalagi kenyataan bahwa aku terkadang begitu memilukan, tak mampu bersikap dewasa dan seimbang pada semua hal, pesimis, over sensitif, dan hal lain yang mungkin bisa melegakan kemenanganmu, aku tak akan mundur setapak pun.

Aku resah, dengan perasaan khawatir bahwa sebenarnya kamu tidak pernah menganggap dengan tulus keberadaanku. Kau lebih bisa berbagi hati dengan orang lain. Perasaaan ini terasa terlampau percuma dan sangat memalukan. Terlampau menyakitkan.

Mungkin di sisi lain aku terlalu cemburu. Tidak jua mampu bertahan dalam keyakinan bahwa kamu juga merasakan hal yang sama. Tapi, dimanakah aku bisa menemukan keyakinan itu? Di telapak, sikapmu yang sering kali menyerah dan cukup menghentikkanku dengan diam dan emosi atas ketidakjelasan tentang hadirmu dan perasaanmu?

Apakah kau terlalu angkuh untuk mengakui adanya jalinan antara kita? Ataukah kau berpikir aku takkan mampu meninggalkan sebab aku terlalu mencintaimu. Dan kau berbuat selebur inginmu? Apa kau mengerti, sikapmu itu sangat menyesakkanku?

Separah inikah jalinan kita? Kenapa kita tak pernah mencoba? Adakah kita terlampau letih, lalu menjenguk hati kita masing-masing? Aku mencintaimu, sebab ada keheningan yang berbicara dalam riuh hariku. Bahwa engkau adalah samudera harapku. Pelita tujuku. Kamu unik dan karenanya aku tak ingin kamu jauh.

Telah lama aku membangun hidup pada satu hal. Maka aku tak akan meruntuhkannya dengan hal-hal konyol semcam ini; kebisuan dan ketidakpastian yang kita ciptakan. Sungguh, kalau hingga nantinya sikapmu hanya berhenti pada persoalan ini, aku lebih baik mengalah, berbelok, meskipun aku harus melipat air mata. Menjauh darimu.

Pahami bahwa aku mencintaimu, hanya itu yang selalu kulakukan.

Apa yang bisa kamu lihat jejaknya disetiap huruf, kata, kalimat, bahasa, desah, gerak, watak dan perihal lain yang sudah kuutarakan padamu.

Pahami bahwa aku hanya berusaha untuk mengerti ingatmu, dirimu. Walau itu terkadang menyebabkan aku berbuat sesuatu yang menurutmu adalah sebuah kesalahan. Toh, selalu pula aku mendampinginya dengan koreksi dan kejujuran. 

Dan kamu? Aku tak pernah tahu.

Kenz
Bandung, November 2005


Soliloquy: Bahasa Spanyol yang artinya percakapan dengan diri sendiri. Novel yang membawa imaji seorang pemuda yang selalu menunggu waktu yang tepat untuk mengutarakan isi hati hingga ia terlambat untuk mendapatkannya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar